Selasa, 18 September 2007

Hak-Hak Individu

Semua demokrasi konstitusional memberikan perlindungan terhadap kepentingan individu, seperti kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, kedudukan yang sama di depan hukum, hak untuk memiliki harta benda, dan jaminan proses hukum di pengadilan. Tapi hak mana saja yang harus dilindungi, dan sejauh mana perlindungan diberikan, merupakan wilayah bahasan berbagai jenis teori dan praktik. Di sini saya berasumsi bahwa apapun karakteristik hak itu, kepentingan individu harus diperlakukan sebagai hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ia merupakan kepentingan yang jika dilanggar akan melukai rasa harga diri korban dan menghancurkan kemampuannya untuk memahami eksistensinya. Jadi, penggunaan penyiksaan dan larangan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan, atau sarana pertahanan hidup lainnya, seperti pekerjaan, merupakan hal yang tidak bisa diterima.
Untuk memahami posisi kepentingan tersebut dalam Islam, perlu kita catat bahwa tujuan Syariat menurut teori hukum adalah mewujudkan kesejahteraan manusia (tahqiq masalih al-‘ibad). Secara khusus, para ahli hukum Islam membagi kesejahteraan manusia ke dalam tiga kategori: kesejahteraan primer (daruriyyat), kesejahteraan sekunder (hajiyyat) dan kesejahteraan tertier (kamaliyyat atau tahsiniyyat). Menurut para ahli hukum Muslim, hukum dan kebijakan pemerintah harus memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, mengikuti urutan prioritasnya–pertama keserjahteraan primer, lalu sekunder dan terakhir tertier. Kesejahteraan primer dibagi lebih jauh ke dalam lima kepentingan utama–al-daruriyyat al-khamsah: agama, kehidupan, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta benda. Tapi para ahli hukum Muslim tidak mengembangkan kelima nilai dasar tersebut ke dalam kategori yang lebih luas, dan kemudian menggali implikasi teoritis dari masing-masing nilai tersebut. Mereka menganalisa aturan hukum yang dipandang dapat melayani nilai-nilai tersebut dan menyimpulkan bahwa dengan menghimpun aturan-aturan spesifik tersebut, kelima nilai tersebut bisa terwujud. Jadi, misalnya, para ahli hukum Muslim berargumen bahwa larangan pembunuhan dalam hukum Islam bertujuan melindungi nilai dasar kehidupan, hukuman terhadap orang yang murtad bertujuan melindungi kepentingan agama, larangan terhadap minuman beralkohol bertujuan melindungi akal, larangan terhadap praktik pelacuran dan perzinaan bertujuan melindungi keturunan, dan hak untuk mendapat ganti rugi bertujuan melindungi harta benda. Namun, membatasi perlindungan akal hanya dengan menetapkan larangan terhadap minuman beralkohol, atau perlindungan terhadap kehidupan hanya dengan menetapkan larangan membunuh, tidak cukup memadai. Sayangnya, tradisi hukum tampaknya telah mereduksi kelima nilai tersebut ke dalam tujuan-tujuan yang bersifat teknis. Padahal, kelima nilai tersebut bisa berperan sebagai landasan bagi sebuah teori yang sistematis tentang hak individu di dunia modern.[i]
Yang pasti, tradisi hukum Islam mengungkapkan sejumlah besar pandangan yang mempelihatkan perlindungan terhadap individu. Misalnya, para ahli hukum Muslim telah mengembangkan gagasan tentang praduga tak bersalah dalam kasus kriminal dan perdata, dan berargumen bahwa penuduh dibebankan dengan pembuktian (al-bayyina ‘ala man idda‘a). Dalam hal-hal yang terkait dengan bid’ah, para ahli hukum Muslim selalu berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan ribuan pelaku bid’ah dari pada keliru menjatuhkan hukuman kepada seorang Muslim yang jujur. Dalam kasus-kasus kriminal, para ahli hukum berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan seseorang yang bersalah dari pada terjerumus pada risiko menghukum orang yang tidak bersalah. Lebih jauh lagi, banyak ahli hukum yang mengecam praktik penahanan dan pengurungan terhadap kelompok heterodok sekalipun ketika kelompok tersebut menyatakan secara terbuka sikap heterodok mereka (seperti kelompok Khawarij), dan berargumen bahwa kelompok-kelompok semacam itu tidak boleh dilecehkan atau diganggu kecuali jika mereka mulai mengangkat senjata dan menunjukkan niat yang nyata untuk memberontak pemerintah. Para ahli hukum Muslim juga mengecam penggunaan siksaan, dengan berargumen bahwa Nabi melarang penggunaan muthla (penggunaan alat siksa) dalam semua situasi,[ii] dan tidak memperkenankan penggunaan pengakuan hasil pemaksaan dalam semua persoalan hukum dan politik.[iii] Pada kenyataannya, sejumlah besar ahli hukum telah mengemukakan sebuah doktrin yang mirip dengan doktrin pembebasan dari tuduhan bersalah yang dipraktikkan dalam sistem hukum Amerika–pengakuan atau bukti yang diperoleh dari proses pemaksaan dinilai tidak sah dalam persidangan. Yang menarik adalah bahwa beberapa ahli hukum bahkan menegaskan bahwa para hakim yang bersandar pada sebuah pengakuan semacam itu dalam memutuskan kasus kriminal dipandang telah bertanggung jawab atas penetapan keputusan yang keliru. Kebanyakan ahli hukum berargumen bahwa tergugat atau keluarganya boleh mengajukan gugatan balik untuk memperoleh ganti rugi kepada hakim tersebut secara khusus, dan kepada khalifah dan wakilnya secara umum, karena pemerintah dipandang bertanggung jawab karena berdiam diri atas tindakan hakim-hakimnya yang bertentangan dengan hukum.
Namun, diskursus yang paling menarik tentang persoalan tersebut dalam tradisi hukum Islam adalah seputar hak Tuhan dan hak manusia. Hak Tuhan (huquq Allah) adalah hak yang sepenuhnya dimiliki Tuhan dalam arti bahwa hanya Tuhan yang dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, dan hanya Tuhan yang memiliki hak untuk memberi maaf atas pelanggaran semacam itu. Namun, hak-hak yang secara eksplisit tidak dimiliki Tuhan kemudian diserahkan kepada manusia. Sementara pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan hanya bisa diampuni oleh Tuhan melalui tobat yang benar, pelanggaran terhadap hak-hak manusia hanya bisa dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Jadi, hak mendapat ganti rugi dimiliki secara pribadi oleh semua manusia dan pelanggaran terhadapnya hanya dapat dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Baik pemerintah maupun Tuhan sekalipun tidak memiliki hak untuk memberi ampunan atau membayarkan ganti rugi, jika ia telah menjadi bagian dari hak manusia.
Para ahli hukum Muslim tidak melukiskan seperangkat hak yang tidak bisa diganggu gugat dan berlaku umum yang dimiliki oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Tapi, mereka memandang hak-hak individu sebagai hak yang berasal dari sebab hukum (legal cause) akibat pelanggaran hukum. Seseorang tidak memiliki hak hingga ia dizalimi, dan oleh karena itu ia berhak mengklaim ganti rugi atau pembalasan. Untuk merubah paradigma tersebut diperlukan sebuah transformasi konsep tradisional tentang hak, sehingga hak menjadi harta milik individu, tanpa mempertimbangkan apakah terdapat sebab hukum dari tindakan tersebut. Seperangkat hak yang diakui bersifat abadi adalah hak-hak yang dipandang penting untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi kasih sayang. Menurut saya, ia pasti merupakan hak yang menjamin keselamatan fisik dan kehormatan manusia. Bisa saja hak-hak individu yang relevan adalah kelima nilai yang disebutkan di atas, tapi persoalan tersebut harus dianalisa ulang dari sudut pandang keberagaman manusia. Dalam konteks ini, komitmen terhadap hak-hak manusia tidak menunjukkan penafian komitmen kepada Tuhan, tapi justru merupakan bentuk penghormatan terhadap keberagaman manusia, penghargaan terhadap khalifah Tuhan, perwujudan kasih sayang, dan upaya pencapaian tujuan tertinggi keadilan.
Penting untuk saya catat bahwa ternyata bukan tradisi hukum Islam pra-modern yang menyodorkan hambatan terbesar bagi pengembangan hak-hak individu dalam Islam. Hambatan serius justru berasal dari orang-orang Islam modern sendiri. Terutama pada paruh kedua abad ini, sejumlah besar orang Islam membentuk asumsi yang tidak berdasar bahwa hukum Islam mengarahkan perhatian utamanya pada kewajiban, bukan pada hak, dan bahwa konsep Islam tentang hak bersifat kolektif, bukan individual. Meskipun demikian, kedua asumsi tersebut hanya didasarkan pada asumsi kultural tentang “pihak lain” yang bukan Barat. Hal itu seolah-olah menegaskan bahwa para penafsir itu telah membakukan konsep Judeo-Kristen atau mungkin konsep Barat tentang hak, dan mengasumsikan bahwa Islam harus memiliki konsep yang berbeda.
Pada kenyataannya, klaim-klaim tentang hak individu atau kolektif pada dasarnya bersifat anakronis. Para ahli hukum Muslim pra-modern tidak menegaskan sebuah visi tentang hak yang bersifat kolektif atau individual. Mereka memang berbicara tentang al-haqq al-‘amm (hak publik), dan sering menegaskan bahwa hak publik harus didahulukan dari pada hak pribadi. Tapi hal tersebut berujung pada sebuah penegasan bahwa kelompok terbesar tidak boleh dirampas hak-haknya oleh kelompok yang lebih kecil. Misalnya, sebagai sebuah adagium hukum hal tersebut telah digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap gagasan tentang public takings (penghasilan publik?) atau hak membangun sarana publik di atas tanah milik pribadi. Prinsip tersebut juga digunakan untuk melarang praktik para dokter yang tidak memenuhi standar kualifikasi.[iv] Tapi seperti yang telah dibahas di atas, para ahli hukum Muslim tidak membenarkan, misalnya, pembunuhan atau penyiksaan manusia untuk mewujudkan kesejahteraan negara atau kepentingan publik.
Barangkali, penegasan tentang pentingnya perspektif kolektifitas dan orientasi kewajiban dalam Islam muncul dari karakteristik reaktif dalam kebanyakan diskursus hukum Islam kontemporer. Namun, gagasan tentang hak individu sebenarnya lebih mudah mendapat pembenaran dalam Islam dari pada hak kolektif. Tuhan menciptakan manusia sebagai individu-individu, dan pertanggungjawaban mereka di akhirat kelak juga dilakukan secara individual. Seseorang yang memiliki komitmen untuk mempertahankan dan melindungi kemaslahatan individu berarti telah menghargai ciptaan Tuhan. Masing-masing individu mencerminkan gambaran semesta keagungan Tuhan. Mengapa seorang Muslim harus memegang komitmen untuk melindungi hak dan kemaslahatan sesama manusia? Jawabannya adalah bahwa Tuhan telah menetapkan komitmen semacam itu ketika Dia meniupkan ruh-Nya ke dalam setiap diri manusia. Itulah sebabnya mengapa Alquran menegaskan bahwa siapapun yang membunuh sesamanya secara tidak benar dipandang telah membunuh semua manusia; seolah-olah pelaku pembunuhan telah membunuh kesucian ilahi dan menghancurkan makna ketuhanan yang terdalam (Q.S. 5:32).
Lebih jauh lagi, Alquran tidak membedakan antara kesucian seorang Muslim dengan non-Muslim.[v] Seperti yang dinyatakan secara berulang-ulang dalam Alquran, tidak seorangpun manusia yang dapat membatasi kepengasihan Tuhan dengan cara apapun, atau memilih-milih siapa yang berhak menerimanya (Q.S. 2:105; 3:74; 35:2; 38:9; 39:38; 40:7; 43:32). Dengan kenyataan itu, saya ingin menegaskan bahwa baik Muslim maupun non-Muslim bisa menjadi penerima atau pemberi kasih sayang ilahi. Yang menjadi ukuran nilai moral dalam kehidupan dunia saat ini adalah kedekatan seseorang kepada Tuhan melalui keadilan, bukan label keagamaannya. Yang menjadi ukuran di akhirat kelak adalah hal lain, dan hal tersebut merupakan hak prerogatif Tuhan. Tuhan akan merealisasikan hak-Nya di akhirat kelak dengan cara yang menurut-Nya paling sesuai. Tapi, kewajiban moral yang paling penting bagi kita di muka bumi ini adalah merealisasikan hak sesama. Komitmen untuk menghargai hak-hak manusia paralel dengan komitmen untuk melindungi ciptaan Tuhan, dan pada akhirnya juga merupakan komitmen terhadap Tuhan sendiri.

[i] Saya berargumen bahwa perlindungan terhadap agama harus dikembangkan sehingga mencakup perlindungan terhadap kebebasan menganut keyakinan agama; perlindungan terhadap kehidupan harus dipahami bahwa mengambil nyawa seseorang harus dilakukan atas dasar alasan yang benar dan merupakan hasil dari proses yang benar; perlindungan terhadap akal harus dimaknai sebagai hak untuk berpikir, berekspresi dan memilih keyakinan secara bebas; perlindungan terhadap kehormatan harus dimaknai sebagai perlindungan terhadap martabat manusia; dan perlindungan terhadap harta benda harus dimaknai sebagai hak untuk memperoleh ganti rugi atas hilangnya harta benda.
[ii] Namun, para ahli hukum Muslim tidak menganggap pelukaan tangan dan kaki sebagai hukuman bagi pencurian atau penghilangan anggota tubuh terhadap kasus perampokan.
[iii] Sejumlah besar ahli hukum dalam sejarah Islam telah dihukum mati dan dibunuh karena mengemukakan pendapat bahwa dukungan politik (bay‘a) yang diperoleh secara paksa dipandang tidak sah. Para ahli hukum Muslim menggambarkan kematian para ulama karena persoalan tersebut sebagai kematian musabara. Hal ini menjadi sebuah diskursus penting karena para khalifah terbiasa menyogok atau mengancam tokoh-tokoh masyarakat dan para ahli hukum untuk memperoleh dukungan (bay‘a) mereka.
[iv] Para ahli hukum Muslim juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban yang bersifat khusus harus diprioritaskan dari pada hak dan kewajiban yang bersifat umum. Tapi, lagi-lagi, hal ini merupakan sebuah prinsip hukum yang berlaku bagi hukum keagenan dan kepercayaan. Meskipun prinsip tersebut dapat diperluas dan dikembangkan untuk mendukung hak-hak individu pada masa modern ini, secara historis, ia memiliki makna yang lebih teknis dan legalistis.
[v] Beberapa ahli hukum pra-modern membedakan antara Muslim dan non-Muslim terutama dalam persoalan yang menyangkut pertanggungjawaban kriminal dan ganti rugi dalam hukum pidana.